Semasa menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad
dikenal sebagai tokoh yang amat disegani baik di kawasan Asia maupun di
tingkat dunia. Pernyataan-pernyataannya yang keras terhadap
ketidakadilan yang terjadi di dunia seringkali membuat panas telinga
Amerika Serikat.
Belum lagi kebijakan ekonominya yang mampu membuat Malaysia bangkit
menjadi negara yang sangat diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.
Kehebatan Mahathir terbukti membawa Malaysia mampu bertahan melewati
krisis finansial yang terjadi di tahun 1997-1998 dan bangkit menjadi New
Emerging Forces. Berkat prestasinya ini Mahathir kemudian mendapat
julukan sebagai Little Soekarno.
Serupa dengan Mahathir Mohammad, SBY pun dipenuhi oleh “prestasi”
yang membanggakan. Kemampuannya untuk memberangus lawan-lawan politiknya
adalah bukti betapa piawainya SBY memainkan jurus-jurus muslihat
politiknya. Sebut saja Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu yang diganjal untuk naik sebagai
Panglima TNI ketika itu. Alih-alih Ryamizad, SBY malah memilih rekan
seangkatannya (sesama lulusan Angkatan 1973) yaitu Marsekal Djoko
Suyanto untuk menggantikan Endriartono Sutarto menjadi Panglima TNI.
Demikian pula kasus Antasari Azhar dimana Cirus Sinaga, yang saat ini
menjadi tersangka dalam kasus Gayus, berperan menjadi Penuntut Umum
dalam kasus Antasari. Antasari Azhar harus menerima buah akibat dari
keberhasilannya memenjarakan besan SBY Aulia Pohan
Selain itu, apa yang dilakukan oleh SBY terhadap Sri Sultan HBX
dengan RUUK Yogyakarta juga masih diimani dengan semangat yang sama.
Semangat untuk menghabisi lawan-lawan poltiknya. Demikian pula dengan
aksi spanduk besar-besaran yang dilakukan oleh Gerakan Anti Din
Syamsuddin untuk memojokkan Din Syamsuddin adalah upaya black campaign
yang diniatkan untuk memecah belah sekaligus medelegitimasi upaya Tokoh
Lintas Agama dalam upayanya memperbaiki negeri ini.
Begitu pula dengan kasus penangkapan anggota DPRRI terkait kasus
Miranda Gate lebih terkesan tebang pilih. Beberapa anggota DPRRI dari
Fraksi PDIP yang ditangkap adalah mereka yang masuk kelompok Megawati
yang kontra SBY. Ujung-ujungnya sudah bisa dipastikan mereka akan
terkena pergantian antar waktu untuk diganti oleh orang-orangnya Taufik
Kiemas yang pro SBY. Sedang penangkapan anggota DPRRI dari Partai GOLKAR
yang terlibat Miranda Gate adalah sebuah warning terhadap Aburizal
“Ical” Bakrie agar tetap tertib dalam barisan setgab koalisi Partai
pendukung SBY.
Perlakuan terhadap aktivis juga beda-beda tipis dengan apa yang
dilakukan Soeharto semasa berkuasa. Adalah Syahrul ditangkap tanpa
sengaja saat polisi menggelar razia lalu lintas di kawasan Gunung
Sahari, Jakarta Pusat, Rabu (12/1 2011) lalu. Syahrul Efendi Dasopang.
Mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) terpaksa berurusan
dengan polisi gara-gara membawa buku berjudul SBY Antek Yahudi-AS? Suatu
Kondisional Menuju Revolusi karya Eggi Sudjana.
Kasus yang lain juga terjadi atas sejumlah aktivis yang sedang
mengadakan rapat konsolidasi gerakan, Kamis (20/1 2011). Menurut
keterangan langsung dari Berry, penanggung jawab rapat, “ada tiga polisi
yang sudah berjaga di lokasi. Dan saat kami mulai rapat, salah satu
dari polisi itu ikut masuk ke ruang rapat. Karena di antara kita sudah
saling kenal, kami langsung deteksi dini melihat polisi ‘nekat’ itu.
Setelah ditanya, polisi itu mengaku dari Polsek Kebayoran Baru. Kami pun
mempersilahkan untuk keluar dari ruang rapat.”
Tak hanya itu, saat salah seorang aktivis yang datang terlambat
langsung dicegat di luar ruang rapat oleh para polisi itu dan ditanyai,
“Kamu yang namanya Berry ya?”.
Sementara itu, peristiwa keji berdarah yang terjadi beberapa hari
lalu terkait kasus pembantaian yang dilakukan terhadap Ahmadiyah di
Cikeusik-Pandeglang dan pembakaran Gereja di Temanggung, jelas-jelas
merupakan upaya alih opini yang secara sistematis dilakukan untuk
menenggelamkan berbagai pemberitaan yang muncul terkait merebaknya
tudingan kebohongan pemerintahan SBY oleh tokoh lintas agama dan forum
rektor serta carut-marutnya proses penegakan hukum terhadap kasus mafia
hukum dan mafia pajak yang ditengarai melibatkan sejumlah elit politik
dan birokrasi.
Pola-pola permainan tabir asap -smoke screen- seperti yang dilakukan
di Cikeusik-Pandeglang dan Temanggung dengan menggunakan operasi
intelijen adalah salah satu keahlian yang dimiliki oleh rezim Orde Baru
dengan menghalalkan segala cara tanpa belas kasihan sekalipun harus
mengorbankan rakyat demi mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun.
Lebih dari itu, kasus konflik antar umat beragama yang terjadi di
Cikeusik dan Temanggung lebih terlihat sebagai sebuah upaya balas dendam
yang dirancang dengan sistematis untuk mendelegitimasi tokoh lintas
agama yang belum lama ini menuding SBY telah melakukan kebohongan
publik.
Masih panjang lagi daftar prestasi SBY yang bahkan bisa dituliskan
dalam sebuah buku tebal. Namun dari serba sedikit apa yang diungkap
diatas, sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan kehebatan prestasi
SBY yang mendekati apa yang telah dicapai oleh Soeharto semasa menjadi
Presiden.
Satu hal yang membedakan SBY dari Soeharto, jika Soeharto
menyembunyikan kekejamannya dibalik senyumannya, maka SBY menyembuyikan
kekejamannya dibalik kesenduannya yang selalu mengharu-biru.
Terlepas dari perbedaan kecil tersebut, semua sikap dan tindakan
politik SBY dengan sadar ditujukan untuk mengkonsolidasi semua dukungan
politik dengan menggilas semua rival-rival politiknya dalam kerangka
membangun oligarkhi kekuasaan baru demi melanggengkan rezim
kekuasaannya. Bagi SBY tak soal jika tak lagi berkuasa sebagai Presiden
ketika Ani Yudhoyono maupun Ibas Yudhoyono sudah ancang-ancang untuk
menerima tongkat estafet kekuasaan dari SBY.
Tak pelak lagi, atas semua prestasinya itu SBY memang pantas dianugerahi gelaran Little Soeharto…
sumber: itempoeti.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar